KADO SPESIAL DI HARI
ULANG TAHUNKU
Pagi yang cerah, matahari bersinar
dengan indahnya. Aku mulai membuka mata perlahan dan kulihat ayah dan ibu ada
di sampingku.
“Dek fifi.....Selamat ulang tahun sayang, ayah
dan ibu doakan, semoga sekarang kamu yang kamu cita-citakan dapat tercapai,”
kata ayah dan ibu.
“Iya ayah ibu, makasih doanya,”
kataku dengan suara lirih.
Acara
ulang tahunku dimulai. Banyak kado yang kudapat. Teman-teman suka cita
merayakan acara ini. Sebelum meniup lilin, kupanjatkan doa kepada Alloh, SWT.
Acara
telah usai, namun kakek dan nenek belum datang. Aku duduk termenung di teras
rumah sambil membayangkan kakek dan nenek datang dengan membawakanku kado
sepeda mini. Aku hanya tersenyum membayangkan itu. Tanpa kusadari ada suara
memanggilku dari kejauhan. Kulihat kakek dan nenek datang
“Dek fifi, kesini bantu kakek” kata
kakek memanggilku.
“Horeeee...., terima kasih kakek,
terima kasih nenek” kataku.
Aku mendapatkan kado sepeda mini
dari kakek dan nenek.
Malampun
berlalu, waktuku untuk tidur. Di kamarku dipenuhi dengan kado-kado dari
teman-teman dan saudara. Sebelum tidur aku buka kado itu satu per satu.
Dalam tumpukan kutemukan kotak
warna biru kesukaanku. Setelah kubuka ternyata kado dari ayah yaitu sebuah jam
tangan.
Malam semakinpun larut, tetapi aku
belum bisa memejamkan mata. Semua kado telah aku buka, anehnya aku tidak
menemukan kado dari ibu.
Disebelah kamar kudengar suara lirih,
pembicaraan ayah dan ibu. Diam-diam aku mendengarkan pembicaraan ayah dan ibu.
“Ayah, mungkin Ibu akan memberikan
kado adik di ulang tahunnya yang ke-11 ini, semoga berita gembira ini akan
menjadi kado spesial untuk Fifi,” kata Ibu.
“Iya bu, semoga Fifi bahagia
mendengar berita ini, ayah bahagia karena Fifi akan menjadi seorang kakak,”
kata ayah.
Aku tidak menyangka kalau kado
paling spesial di ulang tahunku yang ke-11 ini adalah seorang adik.
Tidak terasa kupejamkan mata ini.
Kukuruyukkk.......suara ayam
berkokok. Matahari telah bersinar terang.
“Pagi
sayang,” kata Ibu dengan ceria.
“Pagi
Ibu, ya ampun Fifi kesiangan bu, hari ini ada les pagi,” kataku sambil bergegas
pergi meninggalkan Ibu.
Aku
buru-buru keluar kamar, aku yakin Ibu akan mengatakan itu. Aku berusaha untuk
menghindar.
Sampai
di sekolah, aku hanya diam memikirkan kata-kata Ayah dan Ibu semalam.
“Hai Fi.. kenapa kamu murung,” kata
Nita sahabat karibku.
“Kamu kenapa Fi? Kamu sakit?” kata
Nita.
“Tidak Nita, sebentar ya aku masuk
kelas dulu,” kataku.
Dalam
pelajaranpun aku tidak bisa konsentrasi.
Waktu pulang sekolahpun tiba, aku
tidak betah dikelas. Akhirnya aku putuskan untuk pulang ke rumah nenek. Mungkin
nenek bisa membantuku. Sesampainya di rumah nenek aku langsung menceritakan
semua kepada nenek.
“Nek, Fifi boleh bertanya tidak?”
kataku dengan muka murung.
“Ada apa sayang, kelihatannya kamu
sedih sekali, kemarin kan habis dapat kado banyak, kok sekarang malah sedih,”
kata nenek sambil bergurau.
“Nenek, Fifi serius nih,” kataku.
“Nek, besok kalau Fifi punya adik,
Fifi boleh tinggal sama nenek tidak?” kataku dengan sedih.
“Kok
malah tinggal di siini, kalau kamu punya adik kamu harus bisa mengasuh adik
kamu,” kata Nenek dengan tegas.
“Aku tidak mau Nek, aku maunya
selamanya, mulai sekarang kalau boleh,” kataku sambil meneteskan air mata.
Nenek memelukku, sambil memberikanku nasihat.
“Apa kamu takut kasih sayang ayah
dan ibumu akan berkurang setelah kamu punya adik?” kata nenek dengan penuh
kasih sayang.
“Iya...Nek,” kataku.
“Kamu tidak boleh begitu sayang,
seharusnya kamu bahagia karena kamu akan menjadi seorang kakak, kamu harus bisa
menjaga adikmu, menjadi panutan adikmu kelak,” kata nenek.
Untuk
sementara nenek mengijinkanku menginap di rumah nenek. Perasaanku sedikit lega
karena kakek dan nenek memberikanku ijin untuk tinggal di rumah kakek.
Setelah jama’ah sholat maghrib
kakek memberiku nasihat.
“Dek, setiap orang itu membutuhkan
teman dalam hidup ini, Fifi kan juga punya sahabat karib, setiap hari kalau
bermain sama Nita terus, coba liat orang yang tidak punya saudara itu,
kemana-mana sendiri, kalau bermain tidak ada temannya,” kata kakek.
“Iya dek, kakek benar besok kalau
adikmu sudah besar kamu bisa setiap hari bermain, bercanda bersama adikmu, ayah
dan ibumu tidak mungkin mengurangi ataupun membedakan rasa kasih sayang antara kamu
dan adikmu, karena kalian adalah anak kandung dari ayah ibu kamu,” kata nenek
sambil memelukku.
“Percayalah sama kakek dan nenek,
semua itu adalah titipan Alloh SWT” kata kakek dengan bijaksana.
Tak
lama kemudian ayah dan ibu datang. Ayah juga memberikanku nasihat seperti kata
kakek dan nenek. Apalagi ibu, ibu menasihatiku dengan menangis. Aku tak kuasa
melihat ibuku menangis. Aku tak bisa berkata apapun, aku berlari ke kamar
meninggalkan ayah, ibu, kakek dan nenek.
Di
dalam kamar aku hanya bisa meneteskan air mata, aku berdoa kepada Tuhan. “Ya
Alloh, ampunilah hambaMu ini, yang telah membuat orang tua hamba menangis,
ampunilah hamba yang belum bisa menerima kehadiran adik hamba, namun hamba akan
selalu berusaha meyakinkan hati ini untuk menerima anugrahMu ya Alloh.”
Aku hanya bisa termenung, ku tatap
bintang-bintang dilangit yang memancarkan sinarnya.
Aku
mencoba untuk mengalahkan rasa egoisku, aku tidak mau seperti ini terus. Aku
harus bisa menjadi dewasa. Tak terasa kupejamkan mata ini. Hingga pagipun
menghampiriku untuk berangkat ke sekolah.
“Selamat pagi kakek dan nenek.”
kataku dengan ceria.
“Pagi juga sayang, kelihatannya
cucuku ini sudah ceria lagi,” kata kakek sambil bergurau.
“Iya, cucu sapa dulu dong.” kataku
sambil tersenyum.
“Anak pintar, cucu kakek dan nenek
harus seperti itu dong, semangat sayang,” kata kakek dengan tersenyum.
Sesampainya
di sekolah akupun tambah ceria karena bisa bermain dengan teman-teman yang lain.
“Hai fifi...,” seru Nita
“Hai juga nita, maaf ya nita
kemarin aku tidak mian sama kamu,” kataku.
“Iya fi, tetapi kamu tidak marah
sama aku kan kemarin itu,” kata nita dengan perasaan bersalah.
“Tidak nita, yuk masuk kelas,
sepertinya bel tanda masuk akan berbunyi,” kataku sambil bergandengan tangan
dengan Nita.
Bel
tanda waktu pulangpun berbunyi. Aku dan Nita bergegas pulang. Aku putuskan
untuk pulang ke rumah ayah. Aku ingin
minta maaf kepada ayah dan ibu karena keegoisanku kemarin.
“Assalamualaikum,” seruku.
“Wa’alaikumsalam,” kata ibu dari
dalam rumah.
Ibu membukaan pintu sambil
tersenyum. Kemudian aku meminta maaf kepada ayah dan ibu.
“Ayah, Ibu maafin Fifi ya, fifi
janji akan menjadi kakak yang baik untuk adikku nanti,” kataku sambil mencium
tangan ayah dan ibu.
“Iya sayang, Ayah dan Ibu maafin
kamu, Ibu hanya mau memberikan kado ulang tahun ini agar kamu kelak mempunyai
saudara yang rukun, Ayah dan Ibu janji tidak akan membeda-bedakan kasih sayang
diantara kalian kelak,” kata ibu pelan.
Aku memeluk Ayah dan Ibu erat-erat.
Dari dalam dapur kucium aroma harum
sop ayam bikinan ibu. Perutku sudah berbunyi.
“Krucuk..krucuk, Ibu...perutku
sudah mulai protes ini,” kataku sambil bergurau.
“Kamu ini sayang, tahu saja kalau
ibu masak sop kesukaanmu,” kata ibu sambil tersenyum.
Malampun
mulai larut, aku pamit ayah dan ibu untuk tidur. Di dalam kamar sebelum tidur
aku membayangkan nanti kalau adikku sudah lahir. “Ya Alloh terima kasih, karena
Engkau telah memberikan kado terindahku di hari ulang tahunku ini”.
~ S E L E S A I ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar