Laman

animasi background

Minggu, 29 Desember 2013

Cerpen


KADO SPESIAL DI HARI
ULANG TAHUNKU


Pagi yang cerah, matahari bersinar dengan indahnya. Aku mulai membuka mata perlahan dan kulihat ayah dan ibu ada di sampingku.
 “Dek fifi.....Selamat ulang tahun sayang, ayah dan ibu doakan, semoga sekarang kamu yang kamu cita-citakan dapat tercapai,” kata ayah dan ibu.
“Iya ayah ibu, makasih doanya,” kataku dengan suara lirih. 
          Acara ulang tahunku dimulai. Banyak kado yang kudapat. Teman-teman suka cita merayakan acara ini. Sebelum meniup lilin, kupanjatkan doa kepada Alloh, SWT.
          Acara telah usai, namun kakek dan nenek belum datang. Aku duduk termenung di teras rumah sambil membayangkan kakek dan nenek datang dengan membawakanku kado sepeda mini. Aku hanya tersenyum membayangkan itu. Tanpa kusadari ada suara memanggilku dari kejauhan. Kulihat kakek dan nenek datang
“Dek fifi, kesini bantu kakek” kata kakek memanggilku.
“Horeeee...., terima kasih kakek, terima kasih nenek” kataku.
Aku mendapatkan kado sepeda mini dari kakek dan nenek.
          Malampun berlalu, waktuku untuk tidur. Di kamarku dipenuhi dengan kado-kado dari teman-teman dan saudara. Sebelum tidur aku buka kado itu satu per satu.
Dalam tumpukan kutemukan kotak warna biru kesukaanku. Setelah kubuka ternyata kado dari ayah yaitu sebuah jam tangan.
Malam semakinpun larut, tetapi aku belum bisa memejamkan mata. Semua kado telah aku buka, anehnya aku tidak menemukan kado dari ibu.
 Disebelah kamar kudengar suara lirih, pembicaraan ayah dan ibu. Diam-diam aku mendengarkan pembicaraan ayah dan ibu.
“Ayah, mungkin Ibu akan memberikan kado adik di ulang tahunnya yang ke-11 ini, semoga berita gembira ini akan menjadi kado spesial untuk Fifi,” kata Ibu.
“Iya bu, semoga Fifi bahagia mendengar berita ini, ayah bahagia karena Fifi akan menjadi seorang kakak,” kata ayah.
Aku tidak menyangka kalau kado paling spesial di ulang tahunku yang ke-11 ini adalah seorang adik.
Tidak terasa kupejamkan mata ini.
Kukuruyukkk.......suara ayam berkokok. Matahari telah bersinar terang.
          “Pagi sayang,” kata Ibu dengan ceria.
          “Pagi Ibu, ya ampun Fifi kesiangan bu, hari ini ada les pagi,” kataku sambil bergegas pergi meninggalkan Ibu.
          Aku buru-buru keluar kamar, aku yakin Ibu akan mengatakan itu. Aku berusaha untuk menghindar.
          Sampai di sekolah, aku hanya diam memikirkan kata-kata Ayah dan Ibu semalam.
“Hai Fi.. kenapa kamu murung,” kata Nita sahabat karibku.
“Kamu kenapa Fi? Kamu sakit?” kata Nita.
“Tidak Nita, sebentar ya aku masuk kelas dulu,” kataku.
          Dalam pelajaranpun aku tidak bisa konsentrasi.
Waktu pulang sekolahpun tiba, aku tidak betah dikelas. Akhirnya aku putuskan untuk pulang ke rumah nenek. Mungkin nenek bisa membantuku. Sesampainya di rumah nenek aku langsung menceritakan semua kepada nenek.
“Nek, Fifi boleh bertanya tidak?” kataku dengan muka murung.
“Ada apa sayang, kelihatannya kamu sedih sekali, kemarin kan habis dapat kado banyak, kok sekarang malah sedih,” kata nenek sambil bergurau.
“Nenek, Fifi serius nih,” kataku.
“Nek, besok kalau Fifi punya adik, Fifi boleh tinggal sama nenek tidak?” kataku dengan sedih.
          “Kok malah tinggal di siini, kalau kamu punya adik kamu harus bisa mengasuh adik kamu,” kata Nenek dengan tegas.
“Aku tidak mau Nek, aku maunya selamanya, mulai sekarang kalau boleh,” kataku sambil meneteskan air mata. Nenek memelukku, sambil memberikanku nasihat.
“Apa kamu takut kasih sayang ayah dan ibumu akan berkurang setelah kamu punya adik?” kata nenek dengan penuh kasih sayang.
“Iya...Nek,” kataku.
“Kamu tidak boleh begitu sayang, seharusnya kamu bahagia karena kamu akan menjadi seorang kakak, kamu harus bisa menjaga adikmu, menjadi panutan adikmu kelak,” kata nenek.
          Untuk sementara nenek mengijinkanku menginap di rumah nenek. Perasaanku sedikit lega karena kakek dan nenek memberikanku ijin untuk tinggal di rumah kakek.
  Setelah jama’ah sholat maghrib kakek memberiku nasihat.
“Dek, setiap orang itu membutuhkan teman dalam hidup ini, Fifi kan juga punya sahabat karib, setiap hari kalau bermain sama Nita terus, coba liat orang yang tidak punya saudara itu, kemana-mana sendiri, kalau bermain tidak ada temannya,” kata kakek.
“Iya dek, kakek benar besok kalau adikmu sudah besar kamu bisa setiap hari bermain, bercanda bersama adikmu, ayah dan ibumu tidak mungkin mengurangi ataupun membedakan rasa kasih sayang antara kamu dan adikmu, karena kalian adalah anak kandung dari ayah ibu kamu,” kata nenek sambil memelukku.
“Percayalah sama kakek dan nenek, semua itu adalah titipan Alloh SWT” kata kakek dengan bijaksana.
          Tak lama kemudian ayah dan ibu datang. Ayah juga memberikanku nasihat seperti kata kakek dan nenek. Apalagi ibu, ibu menasihatiku dengan menangis. Aku tak kuasa melihat ibuku menangis. Aku tak bisa berkata apapun, aku berlari ke kamar meninggalkan ayah, ibu, kakek dan nenek.
          Di dalam kamar aku hanya bisa meneteskan air mata, aku berdoa kepada Tuhan. “Ya Alloh, ampunilah hambaMu ini, yang telah membuat orang tua hamba menangis, ampunilah hamba yang belum bisa menerima kehadiran adik hamba, namun hamba akan selalu berusaha meyakinkan hati ini untuk menerima anugrahMu ya Alloh.”
 Aku hanya bisa termenung, ku tatap bintang-bintang dilangit yang memancarkan sinarnya.
          Aku mencoba untuk mengalahkan rasa egoisku, aku tidak mau seperti ini terus. Aku harus bisa menjadi dewasa. Tak terasa kupejamkan mata ini. Hingga pagipun menghampiriku untuk berangkat ke sekolah.
“Selamat pagi kakek dan nenek.” kataku dengan ceria.
“Pagi juga sayang, kelihatannya cucuku ini sudah ceria lagi,” kata kakek sambil bergurau.
“Iya, cucu sapa dulu dong.” kataku sambil tersenyum.
“Anak pintar, cucu kakek dan nenek harus seperti itu dong, semangat sayang,” kata kakek dengan tersenyum.
          Sesampainya di sekolah akupun tambah ceria karena bisa bermain dengan teman-teman yang lain.
“Hai fifi...,” seru Nita
“Hai juga nita, maaf ya nita kemarin aku tidak mian sama kamu,” kataku.
“Iya fi, tetapi kamu tidak marah sama aku kan kemarin itu,” kata nita dengan perasaan bersalah.
“Tidak nita, yuk masuk kelas, sepertinya bel tanda masuk akan berbunyi,” kataku sambil bergandengan tangan dengan Nita.
          Bel tanda waktu pulangpun berbunyi. Aku dan Nita bergegas pulang. Aku putuskan untuk pulang ke rumah ayah.  Aku ingin minta maaf kepada ayah dan ibu karena keegoisanku kemarin.
         
“Assalamualaikum,” seruku.
“Wa’alaikumsalam,” kata ibu dari dalam rumah.
Ibu membukaan pintu sambil tersenyum. Kemudian aku meminta maaf kepada ayah dan ibu.
“Ayah, Ibu maafin Fifi ya, fifi janji akan menjadi kakak yang baik untuk adikku nanti,” kataku sambil mencium tangan ayah dan ibu.
“Iya sayang, Ayah dan Ibu maafin kamu, Ibu hanya mau memberikan kado ulang tahun ini agar kamu kelak mempunyai saudara yang rukun, Ayah dan Ibu janji tidak akan membeda-bedakan kasih sayang diantara kalian kelak,” kata ibu pelan.
Aku memeluk Ayah dan Ibu erat-erat.
Dari dalam dapur kucium aroma harum sop ayam bikinan ibu. Perutku sudah berbunyi.
“Krucuk..krucuk, Ibu...perutku sudah mulai protes ini,” kataku sambil bergurau.
“Kamu ini sayang, tahu saja kalau ibu masak sop kesukaanmu,” kata ibu sambil tersenyum.
          Malampun mulai larut, aku pamit ayah dan ibu untuk tidur. Di dalam kamar sebelum tidur aku membayangkan nanti kalau adikku sudah lahir. “Ya Alloh terima kasih, karena Engkau telah memberikan kado terindahku di hari ulang tahunku ini”.

~ S E L E S A I ~


Tidak ada komentar:

Posting Komentar